Tekaje 123

Artikel belajar,Trik,dan Ilmu Pengetahuan.

Tinta



TINTA

Bagus Saputro Utomo


Berani dan pekerja keras itulah seorang pemuda berusia 17 tahun yang biasa di panggil Rohman. Dia tinggal di desa Mbarwangi bersama orang tua dan kelima saudaranya. Setiap pagi dia meninggalkan desa itu untuk menuntut ilmu di kota sana. Jika ada yang bertanya di sekolah tersebut, adakah yang tidak mengenal Rohman? Pasti jawabnnya tidak. Rohman sangatlah tersohor di sekolah tersebut karena kepintarannya dan tersohor di Mbarwangi karena keberaniannya. Desa Mbarwangi tanpa kehadiran Rohman hanyalah kedipan mata tak berujung.Rohman bukanlah anak juragan tanah ataupun lurah desa. Namun siapa sangka, pemuda yang paling di segani adalah Rohman anak blandong dari pinggiran desa. Tak sampai disitu, 2 tahun kemudian Rohman membuat sejarah baru lagi. Dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di kota pelajar.
Kehidupan sederhana dan pola pikir sederhana pulalah yang menjadi ciri khas blandong hutan. Hal itu pula yang membuat anak ajaib bernama Rohman harus bepikir berulang-ulang. Dia harus menentukan  pilihan yang sama pentingnya. Di satu sisi dia tetap harus menuntut ilmu dan satu sisi dia harus meneruskan pekerjaan Bagiyo, ayah Rohman yang mengais rejeki di gelap gulitanya hutan. Ketika pilihan yang matang menghampiri Rohman, secara tegas Bagiyo menolak pilihan Rohman tersebut. Keberanian dan kepintaran tak lantas membuat Rohman keras kepala atas pilihan yang telah di tentukan oleh ayahnya sendiri.Rohman tetap menuruti ayahnya untuk mejadi seorang blandong kayu meskipun dia harus merelakan beasiswa yang tak sembarang orang dapat mendapatkannya. Namun begitulah Rohman, selalu bekerja keras dan tekun dalam melakukan semua yang dilakukan. Tak butuh waktu lama baginya untuk menjadi sukses. Tak genap 7 bulan, Rohman sudah dapat membeli sawah. Kesuksesan Rohman tersebut tak lain dan tak bukan karena ketekunan Rohman dalam bekerja. Jika pepatah mengatakan “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”,Berbeda dengan yang di pikirkan oleh Rohman. Dia menyadari bahwa apa yang di lakukannya itu berbanding terbalik dengan pepatah tersebut. Hari demi hari RohmanRohman mulai berpikir bahwa yang di lakukannya itu “sedikit demi sedikit lama-lama menggunduli bukit”. Setiap malam dia selalu terbayang akan kesalahan yang telah di perbuatnya sendiri. Keesokan harinya Rohman menemui Bagiyo dan berkata bahwa dia akan pergi ke kota untuk menuntut ilmu. Dengan keputusan matang Rohman memberanikan diri untuk mengatakan hal tersebut kepada Bagiyo. Namun apa daya bagi Rohman, Bagiyo selaku ayahnya secara tegas menolak keputusan Rohman tersebut. “tinggalkan rumah ini dan jangan pernah kembali bila engkau bersekolah di kota sana”. Kata-kata itu pula yang pernah di dengar oleh kelima saudaranya. Tetapi kali ini Rohman sedikit keras kepala atas keputusan ayahnya. Dia memberanikan untuk meninggalkan rumah tersebut tanpa sebutir harta benda apapun.
5 tahun Rohman menuntut ilmu tanpa sepeser uangpun dari Bagiyo. Setelah wisuda Rohman tak lantas dapat memamerkan hasil menuntut ilmunya di kota. namun ujian demi ujian terus menerus mendatangi Rohman secara bergantian. Seakan putus asa dalam belenggu ujian, Rohman memutuskan untuk menjadi pengangguran. Becik ketitik ala ketara. Akhirnya prestasi yang telah Rohman capai terdengar sampai ke telinga seorang pengusaha bernama Bambang. Mulai hari itu Bambang mengajak Rohman untuk membuat usaha bersama. Tanpa pikir panjang Rohman menerima ajakan Bambang. Dia mengajak Rohman untuk membuat usaha toko sembako. Oarang jawa bilang “yen watuk bisa di obati, ning yen watak sak matine”. Hal tersebut sangatlah tepat, Rohman yang tekun menjadi blandong kayu kini dia juga tekun sebagai penjual sembako. Bambang sangat terkesan dengan pekerjaan Rohman. Untuk itu, Bambang menyerahkan salah satu tokonya kepada Rohman untuk di kelolanya sendiri. Selalu bekerja keras tanpa memikirkan untung ruginya, tanpa terasa kini Rohman telah menjadi sukses. Tanah lahan dan sawah Rohman kini bertebaran dimana-mana. Julukan Bos muda kini lekat pada tubuh kekar Rohman. Dan nama seorang Rohman kini menyebar seantero, bahkan sampai tempat kelahirannya yaitu desa Mbarwangi. Banyak perempuan yang menaksir Rohmandan tak kalah banyak pula masyarakat yang mempunyai anak gadis untuk menikahkannya dengan Rohman. Muda, sukses, berwibawa, baik hati dan tampan kini tak dapat dipisahkan dari diri seorang Rohman. Untuk menyusul teman seangkatannya yang sudah berkeluarga, kemudian Rohman menikahi seorang gadis tercantik di desa laro tempat tinggal Rohman sekarang. Usia yang sudah sama-sama matang membuat Siti istri Rohman hamil hanya dalam waktu 2 minggu.  Namun masalah bertubi-tubi di dahulu yang Rohman hadapi hanyalah pemanasan untuk menghadapi masalah terbesarnya. Yaitu setelah istri Rohman melahirkan seorang anak laki-laki, setiap hari Rohman selalu di bujuk rayu oleh masyarakat untuk menjadi lurah desa. Masyarakat menganggap Rohman sudah memiliki semua yang di butuhkan untuk menjadi seorang lurah. Mendengar hal tersebut, Siti langsung melarang Rohman dengan tegas. Pertama Rohman menuruti Siti dan menganggap hal yang di bicarakan oleh masyakat itu hanya guyonan belaka. Hari demi hari mengalir dengan tenangnya untuk keluarga bos muda Rohman. Hingga akhirnya tiba bulan januari yaitu bulan yang akan di selenggarakan pilkades. Suara dukungan masyarakat semakin membisikan kuping Rohman. Setiap malam hati Rohman yang terdalam mulai memikirkan omongan-omongan masyarakat tersebut. Rohman ingin dirinya lebih terkenal di masyarakat dan bahkan yang paling terkenal.
Tiba-tiba Rohman yang baik hati dan bijaksana mulai terlena akan seutas nama sebuah lurah. Tanpa memperdulikan hirauan dari Siti, Rohman mulai berkampanye dan membagikan uang. Suara dukungan untuk Rohmanpun semakin menggelora, meruncing menusuk telinga, membumbung menutup mata, menjerit mengunci telinga. Prediksi suara kemenanganpun 80% akan diraihnya. Kucuran sembako gratis mendatangi pintu-pintu rumah setiap menjelang bangunnya pembangun masyarakat. Aliran dana segarpun tak mau kalah, lembarang lembaran uang berceceran di tangan pendukung Rohman setiap mulut berucap. Agar Rohman menang, dia ingin menjual tanah dan sawahnya untuk di bagikan ke masyarakat desa. Padahal Siti telah ribuan ucap untuk  melarang Rohman maju menjadi lurah. Namun bukan permintaan Siti yang terkabul, tetapi caci makianlah yang di dapatnya dari suaminya sendiri. Hati, pikiran, mata bahkan telinga Rohman seolah-olah tertutup dengan seutas nama yang akan diraih setelah menjadi lurah. Semua harta bendanyapun terkuras habis untuk di bagikan kepada pendukungnya. Sitipun hanya dapat berharap jikalau pada hari H nanti suaminya akan benar-benar menjadi lurah yang bijaksana. Pada akhirnya hari H pun datang. Siti tak berani keluar dari pintu rumah. Dia hanya di rumah memeluk erat-erat anak laki-laki satu-satunya yang sedang sakit. Padahal semua lapisan masyarakat serentak berbondong-bondong menuju ke kantor kelurahan. Rohman bersorak sorai di depan kantor tersebut. Dia merasa sangat percaya diri akan 80% suara yang akan di dapatnya. Padahal tanpa sepengetahuannya, anak satu-satunya sedang sakit di rumah bersama Siti, istrinya. Selang beberapa jam suara riau rintihpun padam. Hanya suara 1 dan 2 yang terdengar di kantor kelurahan tersebut. 47% suara yang telah di bacakan, semuanya tanpa ada yang terlewatkan masuk ke nomor 1, yaitu nomor urut bos muda Rohman. Sedemikan dia langsung berpesta uang di tempat tersebut. Tak tanggung-tanggung, seratus juta rupiah di sebarkan di tempat tersebut. Namun takdir seakan membenci Rohman. Sisa 53% suara tak satupun tersasar ke nomor bos muda. Tempat tersebut bagaikan hutang belantara yang belum terjamak manusia setapakpun. Hanya suara jangkrik “krik krik krik…” yang terngiang di telinga Rohman. Dan yang lebih istimewa, tak ada satupun pendukungnya yang melemparkan bela sungkawa terhadapnya. Bahkan suara-suara gembira dari pendukungnya sangat merajalela di tempat tersebut. Tak sanggup mengangkat kaki itulah yang sedang dirasakan Rohman. Bahkan tangan yang penuh ototpun tak sanggup menggeser sebuah pintu kayu. Rohman sangat terpukul oleh hasil pilkades tersebut. Bagaikan tamparan dari neraka. Orang sekaya raja dapat menjadi babu hanya sekedipan mata. Sejengkal tanahpun tiada dimilikinya. Di tambah dengan permasalahan yang sedang di alami oleh anaknya. Karena anak satu-satunya tersebut sedang sakit parah. Rohman tiada daya untuk membawa anaknya itu ke dokter. Hutang piutangpun juga tak mau kalah cepat menghampiri Rohman. Tak mau pasrah, Siti mulai berpikir, mungkin dia akan dapat membantu suaminya asalkan kerja di luar negeri. Mendengar curahan hati tersebut, Rohman sebagai laki-laki merasa terhina. Lontaran suara “ku ceraikan dirimu jikalau engkau merantau ke tanah tetangga”.
Setia dan tak ingin berpisah, itulah siti. Namun keadaan bagaikan jurang tak berdasar. Setelah berpikir panjang, Siti akhirnya tetap memilih merantau ke negeri sebrang. Siti memilih hal tersebut bukan karena menentang suaminya. Namun asap dapur harus tetap mengepul untuk mengisi jalur lambung anaknya.Tak tinggal diam dengan si Rohman. Dengan tegas dia menceraikan Siti. Dan setelah melewati tahap per tahap, anaknya pun jatuh ke tangan Siti. Akhirnya Siti benar-benar pergi ke negeri sebrang. Anaknya pun dia titipkan kepada kakeknya. Dan Rohman yang kini melarat harus pergi dari rumah. Dengan kepala menunduk, kaki ibarat terantai, dia kembali kerumah ayahnya di desa Mbarwangi. Bagaikan telah putus urat malunya, walaupun dengan kepala menunduk, dia memberanikan diri untuk menggeser sebuah pintu yang dulu pernah di sia-siakannya. Dia meminta maaf kepada Bagiyo, ayahnya sendiri.  Masih untung Bagiyo mau menerima Rohman. Tetapi kenyataan pahit harus diterima Rohman. Anaknya yang sangat dia sayangi tidak mau mengakui Rohman sebagai ayah kandungnya. Tidak berhenti sampai di situ, Siti yang notabennya sebagai mantan istri Rohman. Kini telah sukses setelah bekerja di negeri sebrang selama 5 tahun. Nasi telah menjadi bubur. Itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan keadaan Rohman saat ini. Hanya penyesalan belaka yang dapat di lakukannya saat ini. Bahkan sampai akhir hayatnyapun, belum tentu akan sanggup untuk membayar kebodohannya di masa lalu.
Grobogan, 27 september 2014

0 Komentar untuk "Tinta"

 
Copyright © 2014 - All Rights Reserved
Template By. Catatan Info