TINTA
Bagus Saputro Utomo
Berani dan pekerja keras itulah seorang
pemuda berusia 17 tahun yang biasa
di panggil Rohman. Dia tinggal
di desa Mbarwangi bersama orang tua dan kelima saudaranya. Setiap pagi dia
meninggalkan desa itu untuk menuntut ilmu di kota sana. Jika ada yang bertanya
di sekolah tersebut, adakah yang tidak mengenal Rohman? Pasti jawabnnya tidak. Rohman
sangatlah tersohor di sekolah tersebut karena kepintarannya dan tersohor di Mbarwangi karena keberaniannya. Desa Mbarwangi tanpa kehadiran Rohman
hanyalah kedipan mata tak berujung.Rohman
bukanlah anak juragan tanah ataupun lurah desa. Namun siapa sangka, pemuda yang
paling di segani adalah Rohman anak blandong dari pinggiran desa. Tak sampai
disitu, 2 tahun kemudian Rohman membuat sejarah baru lagi. Dia mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di kota pelajar.
Kehidupan sederhana dan pola pikir
sederhana pulalah yang menjadi ciri khas blandong hutan. Hal itu pula yang
membuat anak ajaib bernama Rohman harus bepikir berulang-ulang. Dia harus
menentukan pilihan yang sama pentingnya.
Di satu sisi dia tetap harus menuntut ilmu dan satu sisi dia harus meneruskan
pekerjaan Bagiyo, ayah Rohman yang mengais rejeki di gelap gulitanya hutan.
Ketika pilihan yang matang menghampiri Rohman, secara tegas Bagiyo menolak
pilihan Rohman tersebut. Keberanian dan kepintaran tak lantas membuat Rohman
keras kepala atas pilihan yang telah di tentukan oleh ayahnya sendiri.Rohman
tetap menuruti ayahnya untuk mejadi seorang blandong kayu meskipun dia harus
merelakan beasiswa yang tak sembarang orang dapat mendapatkannya. Namun
begitulah Rohman, selalu bekerja keras dan tekun dalam melakukan semua yang
dilakukan. Tak butuh waktu lama baginya untuk menjadi sukses. Tak genap 7
bulan, Rohman sudah dapat membeli sawah. Kesuksesan Rohman tersebut tak lain
dan tak bukan karena ketekunan Rohman dalam bekerja. Jika pepatah mengatakan “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi
bukit”,Berbeda dengan yang di pikirkan oleh Rohman. Dia menyadari bahwa apa
yang di lakukannya itu berbanding terbalik dengan pepatah tersebut. Hari demi
hari RohmanRohman mulai berpikir bahwa yang di lakukannya itu “sedikit demi sedikit lama-lama menggunduli
bukit”. Setiap malam dia selalu terbayang akan kesalahan yang telah di
perbuatnya sendiri. Keesokan harinya Rohman menemui Bagiyo dan berkata bahwa
dia akan pergi ke kota untuk menuntut ilmu. Dengan keputusan matang Rohman
memberanikan diri untuk mengatakan hal tersebut kepada Bagiyo. Namun apa daya
bagi Rohman, Bagiyo selaku ayahnya secara tegas menolak keputusan Rohman
tersebut. “tinggalkan rumah ini dan jangan pernah kembali bila engkau bersekolah
di kota sana”. Kata-kata itu pula yang pernah di dengar oleh kelima saudaranya.
Tetapi kali ini Rohman sedikit keras kepala atas keputusan ayahnya. Dia
memberanikan untuk meninggalkan rumah tersebut tanpa sebutir harta benda
apapun.
5 tahun Rohman menuntut ilmu tanpa
sepeser uangpun dari Bagiyo. Setelah wisuda Rohman tak lantas dapat memamerkan
hasil menuntut ilmunya di kota. namun ujian demi ujian terus menerus mendatangi
Rohman secara bergantian. Seakan putus asa dalam belenggu ujian, Rohman memutuskan
untuk menjadi pengangguran. Becik ketitik
ala ketara. Akhirnya prestasi yang telah Rohman capai terdengar sampai ke
telinga seorang pengusaha bernama Bambang. Mulai hari itu Bambang mengajak Rohman
untuk membuat usaha bersama. Tanpa pikir panjang Rohman menerima ajakan Bambang.
Dia mengajak Rohman untuk membuat usaha toko sembako. Oarang jawa bilang “yen watuk bisa di obati, ning yen watak sak
matine”. Hal tersebut sangatlah tepat, Rohman yang tekun menjadi blandong
kayu kini dia juga tekun sebagai penjual sembako. Bambang sangat terkesan
dengan pekerjaan Rohman. Untuk itu, Bambang menyerahkan salah satu tokonya
kepada Rohman untuk di kelolanya sendiri. Selalu bekerja keras tanpa memikirkan
untung ruginya, tanpa terasa kini Rohman telah menjadi sukses. Tanah lahan dan
sawah Rohman kini bertebaran dimana-mana. Julukan Bos muda kini lekat pada
tubuh kekar Rohman. Dan nama seorang Rohman kini menyebar seantero, bahkan
sampai tempat kelahirannya yaitu desa Mbarwangi. Banyak perempuan yang menaksir
Rohmandan tak kalah banyak pula masyarakat yang mempunyai anak gadis untuk
menikahkannya dengan Rohman. Muda, sukses, berwibawa, baik hati dan tampan kini
tak dapat dipisahkan dari diri seorang Rohman. Untuk menyusul teman
seangkatannya yang sudah berkeluarga, kemudian Rohman menikahi seorang gadis
tercantik di desa laro tempat tinggal Rohman sekarang. Usia yang sudah
sama-sama matang membuat Siti istri Rohman hamil hanya dalam waktu 2
minggu. Namun masalah bertubi-tubi di
dahulu yang Rohman hadapi hanyalah pemanasan untuk menghadapi masalah
terbesarnya. Yaitu setelah istri Rohman melahirkan seorang anak laki-laki,
setiap hari Rohman selalu di bujuk rayu oleh masyarakat untuk menjadi lurah
desa. Masyarakat menganggap Rohman sudah memiliki semua yang di butuhkan untuk
menjadi seorang lurah. Mendengar hal tersebut, Siti langsung melarang Rohman
dengan tegas. Pertama Rohman menuruti Siti dan menganggap hal yang di bicarakan
oleh masyakat itu hanya guyonan belaka. Hari demi hari mengalir dengan tenangnya
untuk keluarga bos muda Rohman. Hingga akhirnya tiba bulan januari yaitu bulan
yang akan di selenggarakan pilkades. Suara dukungan masyarakat semakin
membisikan kuping Rohman. Setiap malam hati Rohman yang terdalam mulai
memikirkan omongan-omongan masyarakat tersebut. Rohman ingin dirinya lebih
terkenal di masyarakat dan bahkan yang paling terkenal.
Tiba-tiba Rohman yang baik hati dan
bijaksana mulai terlena akan seutas nama sebuah lurah. Tanpa memperdulikan hirauan
dari Siti, Rohman mulai berkampanye dan membagikan uang. Suara dukungan untuk Rohmanpun
semakin menggelora, meruncing menusuk telinga, membumbung menutup mata,
menjerit mengunci telinga. Prediksi suara kemenanganpun 80% akan diraihnya.
Kucuran sembako gratis mendatangi pintu-pintu rumah setiap menjelang bangunnya
pembangun masyarakat. Aliran dana segarpun tak mau kalah, lembarang lembaran
uang berceceran di tangan pendukung Rohman setiap mulut berucap. Agar Rohman
menang, dia ingin menjual tanah dan sawahnya untuk di bagikan ke masyarakat
desa. Padahal Siti telah ribuan ucap untuk
melarang Rohman maju menjadi lurah. Namun bukan permintaan Siti yang
terkabul, tetapi caci makianlah yang di dapatnya dari suaminya sendiri. Hati,
pikiran, mata bahkan telinga Rohman seolah-olah tertutup dengan seutas nama
yang akan diraih setelah menjadi lurah. Semua harta bendanyapun terkuras habis
untuk di bagikan kepada pendukungnya. Sitipun hanya dapat berharap jikalau pada
hari H nanti suaminya akan benar-benar menjadi lurah yang bijaksana. Pada
akhirnya hari H pun datang. Siti tak berani keluar dari pintu rumah. Dia hanya
di rumah memeluk erat-erat anak laki-laki satu-satunya yang sedang sakit.
Padahal semua lapisan masyarakat serentak berbondong-bondong menuju ke kantor
kelurahan. Rohman bersorak sorai di depan kantor tersebut. Dia merasa sangat
percaya diri akan 80% suara yang akan di dapatnya. Padahal tanpa
sepengetahuannya, anak satu-satunya sedang sakit di rumah bersama Siti,
istrinya. Selang beberapa jam suara riau rintihpun padam. Hanya suara 1 dan 2
yang terdengar di kantor kelurahan tersebut. 47% suara yang telah di bacakan,
semuanya tanpa ada yang terlewatkan masuk ke nomor 1, yaitu nomor urut bos muda
Rohman. Sedemikan dia langsung berpesta uang di tempat tersebut. Tak
tanggung-tanggung, seratus juta rupiah di sebarkan di tempat tersebut. Namun
takdir seakan membenci Rohman. Sisa 53% suara tak satupun tersasar ke nomor bos
muda. Tempat tersebut bagaikan hutang belantara yang belum terjamak manusia
setapakpun. Hanya suara jangkrik “krik krik krik…” yang terngiang di telinga Rohman.
Dan yang lebih istimewa, tak ada satupun pendukungnya yang melemparkan bela
sungkawa terhadapnya. Bahkan suara-suara gembira dari pendukungnya sangat
merajalela di tempat tersebut. Tak sanggup mengangkat kaki itulah yang sedang
dirasakan Rohman. Bahkan tangan yang penuh ototpun tak sanggup menggeser sebuah
pintu kayu. Rohman sangat terpukul oleh hasil pilkades tersebut. Bagaikan
tamparan dari neraka. Orang sekaya raja dapat menjadi babu hanya sekedipan
mata. Sejengkal tanahpun tiada dimilikinya. Di tambah dengan permasalahan yang
sedang di alami oleh anaknya. Karena anak satu-satunya tersebut sedang sakit
parah. Rohman tiada daya untuk membawa anaknya itu ke dokter. Hutang piutangpun
juga tak mau kalah cepat menghampiri Rohman. Tak mau pasrah, Siti mulai
berpikir, mungkin dia akan dapat membantu suaminya asalkan kerja di luar
negeri. Mendengar curahan hati tersebut, Rohman sebagai laki-laki merasa terhina.
Lontaran suara “ku ceraikan dirimu jikalau engkau merantau ke tanah tetangga”.
Setia dan tak ingin berpisah, itulah
siti. Namun keadaan bagaikan jurang tak berdasar. Setelah berpikir panjang, Siti
akhirnya tetap memilih merantau ke negeri sebrang. Siti memilih hal tersebut
bukan karena menentang suaminya. Namun asap dapur harus tetap mengepul untuk
mengisi jalur lambung anaknya.Tak tinggal diam dengan si Rohman. Dengan tegas
dia menceraikan Siti. Dan setelah melewati tahap per tahap, anaknya pun jatuh
ke tangan Siti. Akhirnya Siti benar-benar pergi ke negeri sebrang. Anaknya pun
dia titipkan kepada kakeknya. Dan Rohman yang kini melarat harus pergi dari
rumah. Dengan kepala menunduk, kaki ibarat terantai, dia kembali kerumah
ayahnya di desa Mbarwangi. Bagaikan telah putus urat malunya, walaupun dengan
kepala menunduk, dia memberanikan diri untuk menggeser sebuah pintu yang dulu
pernah di sia-siakannya. Dia meminta maaf kepada Bagiyo, ayahnya sendiri. Masih untung Bagiyo mau menerima Rohman.
Tetapi kenyataan pahit harus diterima Rohman. Anaknya yang sangat dia sayangi
tidak mau mengakui Rohman sebagai ayah kandungnya. Tidak berhenti sampai di
situ, Siti yang notabennya sebagai mantan istri Rohman. Kini telah sukses
setelah bekerja di negeri sebrang selama 5 tahun. Nasi telah menjadi bubur. Itulah pepatah yang tepat untuk
menggambarkan keadaan Rohman saat ini. Hanya penyesalan belaka yang dapat di
lakukannya saat ini. Bahkan sampai akhir hayatnyapun, belum tentu akan sanggup
untuk membayar kebodohannya di masa lalu.
Grobogan, 27 september 2014
0 Komentar untuk "Tinta"