Sedarah Tak Seiman
Christyanti
Pagi dunia, trimakasih Tuhan, keEsaan Mu kembali
kurasakan pagi ini dalam minggu cerah,
Kau menjamah ku dalam siraman rohani pagi. “Dalam nama Tuhan Yesus aku
bertahan, dalam kasih Mu aku berlindung.
Terimakasih Tuhan, sepenuhnya, dari mulai aku buka mata, hingga detik
ini “ doa ku di pagi cerah ini.
“Christyanti…” suara ayah
memanggilku dari lantai bawah, segera ku pakai kalung salib kesayangan ku
hadiah ulang tahunku ke 17 dan bergegas untuk datang. Sarapan adalah hal terpenting
sebelum ke gereja. Dengan segala perassaan behagia, saya dan ayah pergi menaiki mobil kesayangan
ayah.
Sampai juga di gereja Isa Almasih, tempat berdoa,
menangis, memohon, tempat di mana aku bisa bertemu dengan Tuhan dalam hati ku.
Turunlah ayah dan aku dari mobil, terlihat seorang ibu menuntun anaknya yang
usianya sekitar lima tahunan menghampiri kami “Pagi Pak Daniel” sapanya.
Seketika aku terbanyang oleh sosok seorang ibu, sosok penuh kasih sayang, sosok
indah penuh cinta, kata pendeta ku di gereja dan kata teman-teman ku, tak
pernah aku merasakan seperti apa di kasihi oleh seorang ibu. Ayah memegang
tangan ku dan menarikku ke dalam gereja,
menyadarkan diri dari lamunan ku.
Hari terbaik untuk berdoa, segala doa, segala puji-pujian
semua untukMu Sang Kristus. Cukup untuk pagi ini, semua jemaat segera
meninggalkan ruangan penuh suka cita ini dan kembali bergelut dengan urusan
duniawi masing-masing pribadi, termasuk juga aku, hari ini aku berjanji kepada
sahabat karibku untuk datang kerumahnya, karna dia juga berjanji untuk
mengajariku membuat kue.
Aisyfa aku OTW
ke rumah mu, pesan singkat yang aku kirim ke BBM nya. Aku meluncur dengan matic
kesayangan ku, sekitar jam 1 aku sampai di rumahnya, kulihat ibu Aisya yang
sedang berada di toko kue di samping rumahnya, aku menghampirinya dan
bersalaman “Siang buk, syfa nya ada?”
dengan segera bu Aisya menjawab “Asyfanya baru sholat dhuhur nak Christ, tunggu
saja nak di ruang tamu” dengan perassan senang saya mengiyakan perintah bu
Aisya.
Aku duduk termenung di ruang tamu, aku melihat Asyfa
sedang bersujud, kebetulan pintu kamarnya terbuka. Tangannya menengadah untuk doa,
aku memperhatikan sahabatku dengan baik bahkan tak berkedip, sering kali
tubuhku mengigil karenanya. Setelah selesai dengan doanya Asyfa segera
melepaskan kain putih nya dan meletakkan tasbih putih di lehernya kembali,
memakai jilbab dan bergegas menghampiriku.
Tanpa basa-basi aku dan syfa segera menuju dapur,
terlihat Ibu Aisya yang sedang sibuk mengeluarkan roti dari loyangnya, aku
mendekat dan Bu Aisya menanyakan hal yang membuat aku ingin belajar membuat
kue. Semua ini karena ayah saya, 2 minggu lagi ayah ku akan berulang tahun yang
ke 45, aku akan membuatkan nya kue paling enak di dunia, karena kasing
sayangnya selama ini kepada saya, dia merawat saya dalam kasih, dia adalah ayah
dan ibu bagi ku, akan ku buktikan kepadanya bahwa saya adalah putri terbaiknya.
Dan aku berharap di ulang tahun ayah yang ke 45 ini, aku dapat bertemu siapa
sebenarnya ibu ku, tak sadar tetesan cairan bening keluar dari ke dua mata ku.
Seperti ibu mengusap air mata anaknya Bu Aisya mengusap air mataku dengan
lembut. Aku jadi tak enak dengan Bu
Aisya, aku merasakan .
Ah sudahlah mungkin hanya dalam khayal ku untuk memilki
ibu selembut bu Aisya. Segera setelah Bu Aisya meninggalkan kami, Asyfa
menunjukkan kepada ku bahan – bahan untuk membuat kue. Asyifa mulai menimbang
bahan-bahan yang akan di buat, dengan sengaja, aku bermain main dengan tepung
hal ini mengundang kejengkelan Asyfa karena aku mengoleskan tepung di pipi
merahnya. Terlihat Asyfa mulai menuangkan adoan ke dalam Loyang dan
memasukkannya ke dalam oven, beberapa menit kemudian roti sudah siap untuk di
angkat. Roti matang sempuna.
Aisya menyuruh ku untuk mempraktikkan cara pembuatah roti
yang telah di perlihatkannya. Dengan semangat aku mencobanya “Astaga Ya Tuhan”
keluhku, ternyata susah juga ya membuat kue, ku urungkan niatku untuk meminta
tolong Asyifa karena dia sedang sholat ashar berjamaah di masjid sebelah rumah
Asyfa. Akhirnya oven pun berbunyi tanda kue sudah siap di angkat, tapi hasilnya
tak memuaskan, kue bantet ala Christyn, rasanya ingin
menangis, Syfa dan Ibu Aisya telah datang dan menasehatiku, untuk bersabar dan
tetap harus bersemangat belajar membuat kue.
1 Minggu sebelum ulang tahun Ayah
“Tuhan, bangkitkan aku dengan cara terbaik Mu. Tuhan,
kasihi aku dengan ketulusan Mu, Amin.” Selalu ku luangkan waktu di pagi hari
minggu untuk berdoa. Setelah pulang dari gereja, aku segera datang ke rumah
Asyfa, bantetnya kue minggu lalu tak menyurutkan semangatku untuk belajar
membuat kue. Hari ini aku membuat kue dan akhirnya berhasil. Kue sempurna
buatan ku.
1 Hari sebelum ulang tahun Ayah
Esok hari adalah hari baik bagi ayah ku, sengaja aku
mempersiap kan rencana matang-matang di rumah Aisya, termasuk aku membuat kue
untuknya.
Hari ulang tahun Ayah
Hari yang aku dan ayah tunggu-tunggu telah tiba, malam
aku menyipakan pesta kecil untuk ayah. Lilin yang sudah siap menyapa kedatangan
ayah, masakan spesial dari Ibu Aisya, kue bertuliskan God Bless You Ayah, juga
sudah berjaga di atas meja. Jam 7.30 malam Bu Aisya dan Asyfa sudah datang,
sengaja aku hanya mengundang mereka untuk ku perkenal kepada ayah siapa sahabat
ku selama ini. Entah mengapa ada yang berbeda dengannya tasbih yang biasa dikalungkan di leher ia
letakkan di lengan kirinya. Dan tak lupa
salib yang selalu menggantung di leherku, ku perlihatkan.
Ayah datang dari pintu depan dengan wajah manisnya, aku
berlari dan memeluknya. Segera ku perkenal kan ayah kepada Asyfa dan Ibunya, namun
yang terjadi terdapat wajah bingung di antara Ayah dan Bu Aisya.
Ternyata Ibu Aisya adalah masa lalu Ayah, mungkinkah Bu
Aisya adalah ibu ku?
20 tahun yang lalu
Ketika cinta datang akan ada perbedaan yang satukan
layaknya kasta dan umur, akan tetapi Tuhan akan memisahkan siapa saja yang
menyatukan dua iman, dua insan yang berbeda agama tak akan pernah terikat dalam
1 cinta yang suci.
Waktu itu Ayah dan ibu Aisya menjalin hubungan, hubungan
yang indah dalam cinta, siapa yang salah apakah Ayah ataukah Ibu Aisya? Mereka
berbeda tapi mereka menentang Iman mereka.
Mereka menikah tanpa restu orang tua mereka, mereka
hampir mengorbankan iman, masing-masing dari mereka. Satu tahun setelah mereka
menikah datanglah karunia Tuhan melalui lahirnya anak kembar perempuan.
Mengetahui ini masing-masing keluarga mereka berusaha memisahkan mereka. Usaha
keras ini berhasil, mereka berpisah dengan perjanjian hak asuh si kembar di
bagi, bahkan mereka belum sempat di beri nama.
Hingga hari ini semuanya
terungkap, anak bayi kembar itu adalah aku Christyani di asuh oleh ayah
tanpa ibu, dan Asyfa adalah kembaran ku selama ini. Kini bukan hanya Ayah dan
Ibu Aisya yang tidak seiman, bahkan dengan kembaranku sendiri lahir dari rahim
yang sama, darah yang sama, aku tidak seiman dengannya, aku seorang pengikut
Yesus dan dia seorang muslim
Malam yang indah berubah menjadi malam dengan penuh
tangisan, mendengar semua ini, sungguh aku tak kuasa, Ya Tuhan cobaan seperti
ini haruskan terjadi padaku, ku pegang salib di leher ku, sungguh Ya Tuhan aku
sudah tak kuasa, Asyfapun sama, di lepas tasbihnya namun benang nya terputus
dan seketika biji-biji tasbihpun berserakan di lantai.
Ayah dan Ibu Aisya hanya menangis dan merasa berdosa
telah memisahan 2 insan kembar harus pisah karena mereka.
Untuk mengakhiri hal ini Ibu Aisya dan Syfa meninggalkan
rumah kami. Aku masih tak percaya akan hal ini. Ku kurung raga ini di dalam
kamar. Hingga pagi menjelang.
2 bulan kemudian
Sejak saat malam itu, aku tidak pernah bertemu dengan saudara kembar dan ibu kandung ku. Selama dua bulan
terakhir ini, aku hidup dalam kegelisahan, setiap kali di pagi hari, aku
mendengarkan radio, entah mengapa aku selalu menggigil setiap kali aku
mendengarkan lantunan ayat Al-Qur’an yang keluar dari radio tersebut. Hingga hari minggu ini aku
tidak datang di gereja, melainkan datang di masjid di dekat rumah Asyfa tanpa
dia mengetahuinya, aku bertemu dengan Ustad ustadzah. Aku mencurahkan semua
yang terjadi kepada mereka, “Indah kah Islam itu?” tanyaku dengan tak sengaja.
“Islam itu indah, dan keindahannya bisa di rasakan oleh setiap orang yang
memeluknya.” Jawabnya si ustad. Seketika aku meneteskan air mata dan ku buka
kerudung yang menyembunyikan status ku sejak tadi. Mereka melihat kalung salib
yang melingkar di leherku “Bolehkah aku datang kepadaNya?” tanyaku tersendat-sendat, ustadzah segera memeluk ku, dan menengkan ku
“Pulanglah katakan, curahkan dengan ayah mu nak.”
Bukan perkara mudah untukku melakukan hal ini, namun setiap lantunan itu ku
dengar, seperti ada yang mengajakku menuju kebaikan. “Ayah, maafkan Christyn sebelumnya, tapi keputusan ini adalah yang terbaik bagiku,
selama ini aku hidup dalam Iman dari mu, hingga akhirnya aku bertemu dengan Ibu
kandungku sedangkan iman kita berbeda, mungkin saat ini aku harus meningglkan
semuanya tentang ini dan memulai kehidupan baru dalam iman yang baru, Allah
telah memanggilku untuk datang kepadanya” sungguh terkejutnya ayah mendengarkan
perkataan ku, hingga menjatuhkan gelas tak berdosa, menjadikannya seperti
puing-puing kaca yang tak berguna, awalnya ayah tidak
setuju dengan keputusan ku bahkan menentangnya
Kejadian siang itu, sudah mencabik-cabik hatiku, ku putuskan untuk
mengurung diri di kamar. Tok tok tok, suara ayah mengetuk pintu kamarku, segera
ku bukakan untuknya, ayah datang, memelukku, dan menangis. “Hidup adalah
pilihan datang lah kepada ibumu dan tinggal lah bersama nya dan Asyfa, katakan lah padanaya kau adalah seorang muslim sepertinya” mendengar perkantaa ayah
aku sungguh bersyukur. Pagi itu juga di masjid
dekat rumah Asyfa, aku mengucapkan dua kalimat syahadat, di bimbing oleh Ustad
Alim dan Ustadzah Anisa, di depan Ibuku dan saudara kembarku. Alhamdulillah.
Sekitar satu bulan aku tinggal bersama Ibu ku. Hingga
suatu pagi Ayah datang di rumah. “Assalamualaikum” “Waalaikum salam, Ayah…”
penampilan ayah tampak berbeda dengan baju koko yang di kenakannya. Kami
sekeluarga makan bersama, dan ayah menceritakan semuanya bahwa dia sudah
memeluk islam, dan akhirnya Ibu dan Ayah mengesahkan pernikahannya dalam satu
iman, yaitu Islam. Kami hidup bersama dalam satu atap dan imanyang sama, Alhamdulillah.
0 Komentar untuk "Sedarah Tak Seiman"